JepangMantap – Ena Koume memutuskan berteduh di rumah pamannya yang kebetulan paling dekat dari tempat ia terjebak. Rumah tua itu terasa lebih sepi dari biasanya, dengan pencahayaan remang dan bau kayu lembap yang menyengat. Pamannya menyambut dengan senyum canggung dan mempersilakan Ena masuk. Saat pamannya pergi ke dapur, rasa penasaran membawa Ena menyusuri lorong ke sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka. Di dalam, ia menemukan sesuatu yang membuatnya merinding—dinding kamar penuh dengan potret dan barang-barang pribadi wanita, seperti koleksi rahasia yang tak wajar. Ada satu benda yang membuatnya tercekat: foto dirinya yang tampaknya diambil diam-diam.
Saat Ena berbalik untuk kabur, pamannya sudah berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin. “Kamu nggak seharusnya lihat itu,” ucapnya pelan, tapi penuh tekanan. Dalam hitungan detik, situasi berubah menegangkan. Pamannya mulai menunjukkan sikap obsesif, berbicara tentang “takdir” dan “perasaan yang terpendam.” Ena mencoba melawan, namun semua akses keluar sudah terkunci. Hari demi hari, ia dipaksa tinggal di rumah itu, dikekang dengan dalih “perlindungan” dan “kasih sayang.” Ena tahu, satu-satunya cara untuk bebas adalah mencari celah dan keberanian untuk melarikan diri sebelum segalanya makin memburuk.