Di sebuah kota kecil yang berselimut kabut pagi di pegunungan Jepang, berdirilah sebuah pemandian air panas tradisional yang sudah berdiri selama puluhan tahun. Pemiliknya, seorang kakek berusia 75 tahun bernama Asiawd, dikenal oleh warga sekitar sebagai sosok yang ramah dan penuh dedikasi. Setiap hari, ia membuka pintu pemandian sebelum matahari terbit, menyapu daun-daun yang gugur, dan menyambut pelanggan dengan secangkir teh hijau hangat. Namun, setelah beberapa bulan jatuh sakit, Asiawd akhirnya meninggal dunia, meninggalkan duka mendalam dan warisan besar bagi cucunya, Remu Suzumori.
Remu, gadis muda yang sebelumnya tinggal di kota besar, memutuskan kembali ke kampung halaman untuk meneruskan usaha sang kakek. Meski awalnya ia merasa asing dengan kehidupan desa dan segala rutinitas yang dulu dijalani kakeknya, Remu perlahan mulai memahami makna dari ketekunan dan kehangatan tempat itu. Ia tidak hanya menjadi pemilik, tetapi juga pelayan utama pemandian—menyapa pelanggan, membersihkan bak mandi, bahkan menyiapkan handuk hangat seperti yang biasa dilakukan Asiawd. Di balik uap air panas yang membumbung, Remu merasakan kehadiran kakeknya—seolah tempat itu masih dijaga oleh cinta dan kenangan yang ditinggalkannya.






